Naif rasanya menganggap nilai dalam Ujian Nasional tidak penting-penting amat. Meski, tidak semua hal bisa diukur hanya dengan angka-angka.
Saya punya seorang murid, cowok, sebut sana namanya HD. Dia sekarang kelas 6 dan lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan Ujian Nasional. Nah, dari nilai Try Out, si HD ini selalu berada di urutan bawah. Sebab itulah, saya merasa punya kewajiban untuk berkunjung ke rumahnya untuk bersua dengan orang tuanya. Seperti menggali informasi bagaimana keseharian HD ini di rumah. Bagaimana model belajarnya, bagaimana pergaulannya, dan seterusnya.
Dari segi tingkah laku, si HD ini tidak ada masalah. Malah, dia termasuk salah satu murid paling manis, sopan, penurut, dan tidak suka neko-neko. Satu lagi, dia bahkan bisa ngomong bahasa Inggris dengan ngewes dan fasih betul. Tentang ngomong bahasa Inggris ini, malah dia yang jadi guru buat saya. Tapi ya itu tadi, soal nilai akademiknya seakan-akan membutuhkan pertolongan Tuhan.
Nah, kembali lagi, lantas apa yang kemudian saya obrolkan dengan orang tua si HD ini? Jadi, begitu sampai di rumah HD, saya melihat dia sedang bermain dengan dua orang temannya. Ia membawa sepotong kayu berbentuk senapan yang entah untuk apa. Mungkin untuk perang-perangan, pikir saya.
Begitu melihat saya memarkirkan motor di muka rumahnya, HD menghambur mendekati saya, dia tersenyum, lantas bersalam dan mencium tangan saya. Lalu pergi menemui teman-temannya lagi. Setelah pemanasan dengan bertanya kabar dan basa-basi lain, akhirnya orang tua HD—yang juga seorang guru, mulai bercerita. Bahwa HD ini memang tidak suka belajar, kecuali ia benar-benar menghendaki atau menyukai sebuah materi pelajaran tertentu.
Di keseharian, HD lebih suka bekerja aktif-kreatif. Seperti membuat jebakan tikus, membuat sesuatu dari barang-barang bekas, membetulkan perkakas rumah yang rusak. Termasuk momong kedua adiknya yang masih kecil-kecil.
Ketika orang tua HD ini menjelaskan perihal pentingnya belajar untuk Ujian Akhir, supaya mendapatkan nilai bagus, HD malah mengajak orang tuanya berdebat. Kurang lebih begini percakapan HD dengan orang tuanya….
“Kamu itu belajarnya belum serius, Nak, buktinya nilai-nilaimu masih kurang.”
“Saya sudah serius, Ma, buktinya saya sekolah dari pagi sampai sore. Kadang, malam masih disuruh belajar.”
“Lha buktinya, nilaimu masih di bawah lima koma.”
“Memangnya kenapa kalau nilaiku jelek, Ma?”
“Ya kalau nilaimu jelek, kamu bisa tidak lulus. Kalaupun lulus, kamu tidak bisa diterima di sekolah yang bagus.”
“Oh, cuma gitu aja. Nggak papa, saya kan masih bisa mondok,” balas HD tanpa beban.
Orang tua HD juga bercerita, suatu ketika HD pernah pulang sekolah sambil menangis. Ketika ditanya kenapa, si HD bilang, bahwa dia sakit hati karena diejek temannya sebagai siswa bodoh. “Padahal kan, saya tidak bodoh, Ma. Saya bisa bikin karya ini… karya itu… sedangkan dia nggak bisa. Waktu kerja kelompok bikin karya, saya kerja, dia cuma diam saja. Lalu siapa yang bodoh?” Ujar HD sambil sesenggukan.
Sampai di sini, saya ingat kata-kata Einstein yang kurang lebih begini: adalah tidak adil menilai seekor ikan dari kepandaiannya memanjat pohon.
Saya pulang dari rumah HD terus mengingat-ingat bahwa waktu Ujian Nasional tinggal hitungan pekan, bahkan hari. Dan saya menggerutu pada diri saya sendiri: apakah Ujian Nasional, nilai-nilai, angka-angka, sesakral itu?
Saya jadi ingat zaman saya SD dulu. Zaman saya namanya Ebtanas, zaman sekarang namanya Ujian Nasional. Zaman saya, Ebtanas hanyalah sebuah kegiatan tahunan yang harus dilewati, hanya harus dilewati. Tidak ada bedanya dengan ulangan atau latihan harian. Hanya saja, ketika Ebtanas, terdapat sebuah papan tulis yang dipajang di tengah lapangan dengan tulisan kapur: HARAP TENANG, ADA UJIAN.
Zaman sekarang, ujian semacam itu telah menjadi resepsi sakral saban akhir tahun. Resepsi yang butuh latihan berbulan-bulan yang disebut Try Out. Resepsi yang seakan-akan menentukan hidup dan mati. Bahkan, seandainya hari itu kau harus opname di rumah sakit, maka kau harus melaksanakan ujian di atas ranjang. Sesakaral itukah? Iya.
Buktinya adalah, jika waktu ujian tertera dua jam, jam 10.00 – 12.00, misalnya. Maka dalam waktu dua jam itu, kau harus duduk manis di bangkumu. Kau tak boleh ke mana-mana sebelum waktu selesai, kecuali harus pergi ke kamar mandi.
Jadi, jika kau berhasil menyelesaikan soal ujian dalam waktu 15 menit. Maka waktu 1 jam 45 menit sisanya, kau harus jadi patung di bangkumu. Tak boleh tidur. Apalagi gaduh. Masih tak percaya kalau Ujian Nasional itu sakral?
Kalau masih tak percaya, coba saja ketika waktu ujian masih berlangsung dan kau dengar kumandang azan zuhur, kau pamit ke pengawas. Bilang begini, “Pak, Buk, saya sudah dengar azan dhuhur, bolehkan saya izin buat salat zuhur dulu?”
Kira-kira, apa yang terjadi? Apakah kau akan diizinkan? Bisa jadi kau dizinkan. Tapi jelas setelah itu, kesalihanmu akan menjadi perdebatan panjang. Lantas, nama gurumu, nama sekolahmu, bakal jadi taruhannya.
Zaman saya, Ebtanas ya Ebtanas aja, tak perlu Try Out-Try Out-an. Tak butuh latihan soal tiap pekan. Berhadapan dengan soal-soal ujian tiap hari itu membosankan, tahu! Berhadapan dengan rumus-rumus tiap pekan itu sungguh mengerikan. Siapa coba yang mampu memahami ini? Jelas para guru dan orang tua memahami ini, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Sebab, Ujian Nasional ini teramat sakral.
Jangan berani coba-coba. Jangan berani main-main. Begitu nilaimu jelek, di bawah standar kelulusan. Maka koitsudah namamu, nama orang tuamu, nama gurumu, nama sekolahmu.
Sebagai seorang guru, berkali-kali saya menegaskan ke anak-anak, bahwa nilai itu bukanlah hal utama. Bukanlah sesuatu yang penting. Sebab nilai bagus bukanlah jaminan keberhasilan dalam mengarungi kehidupan (aduh, duh, bijaknya).
Tapi, berkenaan dengan Ujian Nasional ini, nasehat saya kepada anak-anak ada sedikit ralat, jadi begini: Nilai memang tidak penting, Nak, tapi kalau sampai nilaimu jelek, habislah kau. Saya menyampaikan itu sambil membayangkan berita-berita yang pernah saya baca di media sosial. Perihal murid-murid yang depresi karena tidak lulus ujian, bahkan beberapa dari mereka ada yang sampai nekat mengakhiri hidupnya.
Karena apa? Karena tidak lulus ujian. Kenapa tidak lulus ujian? Karena nilainya jelek. Nah lho! Apa iya harus saya koarkan lagi ke bocah-bocah, bahwa nilai itu tidak penting.
Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Orang tua? Guru? Sekolah? Dinas pendidikan? Menteri Pendidikan? Pak Presiden?
Adalah klise di atas klise membahas sistem pendidikan kita yang masih saja memandang keberhasilan dari angka-angka. Begitu kuno. Begitu konvensional. Tapi ya memang demikian adanya. Lantas, mengapa bisa demikian? Bisa bermacam-macam sebabnya. Bisa saja para pemangku kebijakan di area pendidikan kita merupakan para sesepuh, yang nuwun sewu: rapati milenial dalam berbagai hal. Atau bisa juga berkaitan dengan “proyek birokrasi” dan lain-lain, mengingat banyak sekali yang terlibat dalam agenda tahunan ini. Entahlah.
Kadang, saya membayangkan diri saya sebagai murid yang sedang dihadapkan pada Try Out dan persiapan ujian yang begitu hiruk-pikuk dan berkepanjangan. Tiada hari tanpa pilihan ganda. Tiada hari tanpa uraian. Tiada hari tanpa menyilang dan mengurek-urek jawaban. Tiada hari tanpa memelototi teks-teks mungil dalam lembar kertas buram. Dari waktu ke waktu.
Oh Mai Gat, akankah saya bertahan? Akankah kelopak mata saya tidak bengkak? Akankah rambut saya tidak botak? Akankah kepala saya tidak meledak?
Semoga Tuhan menyelamatkan kalian semua dari ujian ini. Ya, Ujian Nasional ini.
Sumber https://www.hanapibani.com/